IndoBanner Exchanges

Sunday, March 18, 2007

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 15 TAHUN 2002
TENTANG
TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang :
a. bahwa kejahatan yang menghasilkan harta kekayaan dalam jumlah yang
besar semakin meningkat, baik kejahatan yang dilakukan dalam batas
wilayah Negara Republik Indonesia maupun yang melintasi batas wilayah
negara;
b. bahwa asal-usul harta kekayaan yang merupakan hasil dari kejahatan
tersebut, disembunyikan atau disamarkan dengan berbagai cara yang
dikenal sebagai pencucian uang;
c. bahwa perbuatan pencucian uang harus dicegah dan diberantas agar
intensitas kejahatan yang menghasilkan atau melibatkan harta kekayaan
yang jumlahnya besar dapat diminimalisasi sehingga stabilitas
perekonomian nasional dan keamanan negara terjaga;
d. bahwa pencucian uang bukan saja merupakan kejahatan nasional tetapi
juga kejahatan transnasional, oleh karena itu harus diberantas, antara lain
dengan cara melakukan kerja sama regional atau internasional melalui
forum bilateral atau multilateral;
e. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a,
huruf b, huruf c, dan huruf d perlu membentuk Undang-undang tentang
Tindak Pidana Pencucian Uang;
Mengingat :
1. Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 20 Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945;
2. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor
VIII/MPR/2001 tentang Rekomendasi Arah Kebijakan Pemberantasan dan
Pencegahan Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme;
Dengan Persetujuan Bersama
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
dan
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
MEMUTUSKAN:
Menetapkan :
UNDANG-UNDANG TENTANG TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Undang-undang ini yang dimaksud dengan:
1. Setiap orang adalah orang perseorangan atau korporasi.
2. Korporasi adalah kumpulan orang dan/atau kekayaan yang terorganisasi
baik merupakan badan hukum maupun bukan badan hukum.
3. Harta Kekayaan adalah semua benda bergerak atau benda tidak bergerak,
baik yang berwujud maupun yang tidak berwujud.
4. Penyedia Jasa Keuangan adalah setiap orang yang menyediakan jasa di
bidang keuangan termasuk tetapi tidak terbatas pada bank, lembaga
pembiayaan, perusahaan efek, pengelola reksa dana, kustodian, wali
amanat, lembaga penyimpanan dan penyelesaian, pedagang valuta asing,
dana pensiun, dan perusahaan asuransi.
5. Transaksi adalah seluruh kegiatan yang menimbulkan hak atau kewajiban
atau menyebabkan timbulnya hubungan hukum antara dua pihak atau lebih,
termasuk kegiatan pentransferan dan/atau pemindahbukuan dana yang
dilakukan oleh Penyedia Jasa Keuangan.
6. Transaksi Keuangan Mencurigakan adalah transaksi yang menyimpang dari
profil dan karakteristik serta kebiasaan pola transaksi dari nasabah yang
bersangkutan, termasuk transaksi keuangan oleh nasabah yang patut
diduga dilakukan dengan tujuan untuk menghindari pelaporan transaksi
yang bersangkutan yang wajib dilakukan oleh Penyedia Jasa Keuangan
sesuai dengan ketentuan Undang-undang ini.
7. Dokumen adalah data, rekaman, atau informasi yang dapat dilihat, dibaca,
dan/atau didengar, yang dapat dikeluarkan dengan atau tanpa bantuan
suatu sarana, baik yang tertuang di atas kertas, benda fisik apapun selain
kertas, atau yang terekam secara elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas
pada:
a. tulisan, suara, atau gambar;
b. peta, rancangan, foto, atau sejenisnya;
c. huruf, tanda, angka, simbol, atau perforasi yang memiliki makna atau dapat
dipahami oleh orang yang mampu membaca atau memahaminya.
8. Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan yang selanjutnya disebut
PPATK adalah lembaga independen yang dibentuk dalam rangka mencegah
dan memberantas tindak pidana pencucian uang.
Pasal 2
Hasil tindak pidana adalah Harta Kekayaan yang berjumlah Rp 500.000.000,00
(lima ratus juta rupiah) atau lebih atau nilai yang setara, yang diperoleh secara
langsung atau tidak langsung dari kejahatan:
a. korupsi;
b. penyuapan;
c. penyelundupan barang;
d. penyelundupan tenaga kerja;
e. penyelundupan imigran;
f. perbankan;
g. narkotika;
h. psikotropika;
i. perdagangan budak, wanita, dan anak;
j. perdagangan senjata gelap;
k. penculikan;
l. terorisme;
m. pencurian;
n. penggelapan;
o. penipuan,
yang dilakukan di wilayah Negara Republik Indonesia atau di luar wilayah Negara
Republik Indonesia dan kejahatan tersebut juga merupakan tindak pidana menurut
hukum Indonesia.
BAB II
TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG
Pasal 3
(1) Setiap orang yang dengan sengaja:
a. menempatkan Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya
merupakan hasil tindak pidana ke dalam Penyedia Jasa Keuangan, baik
atas nama sendiri atau atas nama pihak lain;
b. mentransfer Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya
merupakan hasil tindak pidana dari suatu Penyedia Jasa Keuangan ke
Penyedia Jasa Keuangan yang lain, baik atas nama sendiri maupun atas
nama pihak lain;
c. membayarkan atau membelanjakan Harta Kekayaan yang diketahuinya atau
patut diduganya merupakan hasil tindak pidana, baik perbuatan itu atas
namanya sendiri maupun atas nama pihak lain;
d. menghibahkan atau menyumbangkan Harta Kekayaan yang diketahuinya
atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana, baik atas namanya
sendiri maupun atas nama pihak lain;
e. menitipkan Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya
merupakan hasil tindak pidana, baik atas namanya sendiri maupun atas
nama pihak lain;
f. membawa ke luar negeri Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut
diduganya merupakan hasil tindak pidana;
g. menukarkan Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya
merupakan hasil tindak pidana dengan mata uang atau surat berharga
lainnya; atau
h. menyembunyikan atau menyamarkan asal-usul Harta Kekayaan yang
diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana, dipidana
karena tindak pidana pencucian uang dengan pidana penjara paling singkat
5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling
sedikit Rp 5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah) dan paling banyak Rp
15.000.000.000,00 (lima belas milyar rupiah).
(2) Setiap orang yang melakukan percobaan, pembantuan, atau permufakatan
jahat untuk melakukan tindak pidana pencucian uang dipidana dengan pidana
yang sama sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).
Pasal 4
(1) Apabila tindak pidana dilakukan oleh pengurus dan/atau kuasa pengurus atas
nama korporasi, maka penjatuhan pidana dilakukan baik terhadap pengurus
dan/atau kuasa pengurus maupun terhadap korporasi.
(2) Pertanggungjawaban pidana bagi pengurus korporasi dibatasi sepanjang
pengurus mempunyai kedudukan fungsional dalam struktur organisasi korporasi.
(3) Korporasi tidak dapat dipertanggungjawabkan secara pidana terhadap suatu
tindak pidana pencucian uang yang dilakukan oleh pengurus yang
mengatasnamakan korporasi, apabila perbuatan tersebut dilakukan melalui
kegiatan yang tidak termasuk dalam lingkup usahanya sebagaimana ditentukan
dalam anggaran dasar atau ketentuan lain yang berlaku bagi korporasi yang
bersangkutan.
(4) Hakim dapat memerintahkan supaya pengurus korporasi menghadap sendiri di
sidang pengadilan dan dapat pula memerintahkan supaya pengurus tersebut
dibawa ke sidang pengadilan.
(5) Dalam hal tindak pidana dilakukan oleh korporasi, maka panggilan untuk
menghadap dan penyerahan surat panggilan tersebut disampaikan kepada
pengurus di tempat tinggal pengurus atau di tempat pengurus berkantor.
Pasal 5
(1) Pidana pokok yang dijatuhkan terhadap korporasi adalah pidana denda,
dengan ketentuan maksimum pidana denda ditambah 1/3 (satu per tiga).
(2) Selain pidana denda sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) terhadap
korporasi juga dapat dijatuhkan pidana tambahan berupa pencabutan izin usaha
dan/atau pembubaran korporasi yang diikuti dengan likuidasi.
Pasal 6
(1) Setiap orang yang menerima atau menguasai:
a. penempatan;
b. pentransferan;
c. pembayaran;
d. hibah;
e. sumbangan;
f. penitipan;
g. penukaran,
Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak
pidana, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling
lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling sedikit Rp 5.000.000.000,00 (lima
milyar rupiah) dan paling banyak Rp 15.000.000.000,00 (lima belas milyar rupiah).
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak berlaku bagi Penyedia
Jasa Keuangan yang melaksanakan kewajiban pelaporan transaksi keuangan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13.
Pasal 7
Setiap Warga Negara Indonesia dan/atau korporasi Indonesia yang berada di luar
wilayah Negara Republik Indonesia yang memberikan bantuan, kesempatan,
sarana, atau keterangan untuk terjadinya tindak pidana pencucian uang dipidana
dengan pidana yang sama sebagai pelaku tindak pidana pencucian uang
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3.
BAB III
TINDAK PIDANA LAIN YANG BERKAITAN DENGAN
TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG
Pasal 8
Penyedia Jasa Keuangan yang dengan sengaja tidak menyampaikan laporan
kepada PPATK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1), dipidana dengan
pidana denda paling sedikit Rp 250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah)
dan paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).
Pasal 9
Setiap orang yang tidak melaporkan uang tunai berupa rupiah sejumlah Rp
100.000.000,00 (seratus juta rupiah) atau lebih yang dibawa ke dalam atau ke luar
wilayah Negara Republik Indonesia dipidana dengan pidana denda paling sedikit
Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 300.000.000,00
(tiga ratus juta rupiah).
Pasal 10
PPATK, penyidik, saksi, penuntut umum, hakim, atau orang lain yang
bersangkutan dengan perkara tindak pidana pencucian uang yang sedang
diperiksa melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39 ayat (1)
dan Pasal 41 ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu)
tahun dan paling lama 3 (tiga) tahun.
Pasal 11
(1) Dalam hal terpidana tidak mampu membayar pidana denda sebagaimana
dimaksud dalam Bab II dan Bab III, pidana denda tersebut diganti dengan pidana
penjara paling lama 3 (tiga) tahun.
(2) Pidana penjara sebagai pengganti pidana denda sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) dicantumkan dalam amar putusan hakim.
Pasal 12
Tindak pidana dalam Bab II dan Bab III adalah kejahatan.
BAB IV
PELAPORAN
Bagian Kesatu
Kewajiban Melapor
Pasal 13
(1) Penyedia Jasa Keuangan wajib menyampaikan laporan kepada PPATK
sebagaimana dimaksud dalam Bab V, untuk hal-hal sebagai berikut:
a. Transaksi Keuangan Mencurigakan;
b. transaksi keuangan yang dilakukan secara tunai dalam jumlah kumulatif
sebesar Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) atau lebih atau yang
nilainya setara, baik dilakukan dalam satu kali transaksi maupun beberapa
kali transaksi dalam 1 (satu) hari kerja.
(2) Penyampaian laporan Transaksi Keuangan Mencurigakan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) huruf a dilakukan paling lambat 14 (empat belas) hari
kerja setelah diketahui oleh Penyedia Jasa Keuangan.
(3) Penyampaian laporan transaksi keuangan yang dilakukan secara tunai
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b dilakukan paling lambat 14 (empat
belas) hari kerja terhitung sejak tanggal transaksi dilakukan.
(4) Kewajiban pelaporan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b tidak
berlaku untuk transaksi yang dikecualikan.
(5) Transaksi yang dikecualikan dari kewajiban pelaporan sebagaimana dimaksud
dalam ayat (3) meliputi transaksi antarbank, transaksi dengan Pemerintah,
transaksi dengan bank sentral, pembayaran gaji, pensiun, dan transaksi lainnya
atas permintaan Penyedia Jasa Keuangan yang disetujui oleh PPATK.
(6) Penyedia Jasa Keuangan wajib membuat dan menyimpan daftar transaksi
yang dikecualikan sebagaimana dimaksud dalam ayat (4).
(7) Ketentuan mengenai bentuk, jenis, dan tata cara penyampaian laporan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur lebih lanjut dengan Keputusan
Kepala PPATK.
Pasal 14
Pelaksanaan kewajiban pelaporan oleh Penyedia Jasa Keuangan yang berbentuk
bank, dikecualikan dari ketentuan rahasia bank sebagaimana dimaksud dalam
Undang-undang yang mengatur mengenai rahasia bank.
Pasal 15
Penyedia Jasa Keuangan, pejabat, serta pegawainya tidak dapat dituntut baik
secara perdata maupun pidana atas pelaksanaan kewajiban pelaporan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14.
Pasal 16
(1) Setiap orang yang membawa uang tunai ke dalam atau keluar wilayah Negara
Republik Indonesia berupa rupiah sejumlah Rp.100.000.000,00 (seratus juta
rupiah) atau lebih, harus melaporkan kepada Direktorat Jenderal Bea dan Cukai.
(2) Direktorat Jenderal Bea dan Cukai wajib menyampaikan laporan tentang
informasi yang diterimanya selama jangka waktu 5 (lima) hari kerja sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) kepada PPATK.
(3) Direktorat Jenderal Bea dan Cukai wajib memberitahukan kepada PPATK
paling lambat 5 (hari) kerja setelah mengetahui adanya pelanggaran terhadap
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).
(4) Laporan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) juga harus memuat rincian
mengenai identitas orang yang membuat laporan.
(5) Apabila diperlukan, PPATK dapat meminta informasi tambahan dari Direktorat
Jenderal Bea dan Cukai berupa rupiah sejumlah Rp.100.000.000,00 (seratus juta
rupiah) atau lebih, yang dibawa oleh setiap orang dari atau ke dalam wilayah
Negara Republik Indonesia.
Bagian Kedua
Identitas Nasabah
Pasal 17
(1) Setiap orang yang melakukan hubungan usaha dengan Penyedia Jasa
Keuangan wajib memberikan identitasnya secara lengkap dan akurat dengan
mengisi formulir yang disediakan oleh Penyedia Jasa Keuangan dan melampirkan
dokumen pendukung yang diperlukan.
(2) Penyedia Jasa Keuangan wajib memastikan pengguna jasa keuangan
bertindak untuk diri sendiri atau untuk orang lain.
(3) Dalam hal pengguna jasa keuangan bertindak untuk orang lain, Penyedia Jasa
Keuangan wajib meminta informasi mengenai identitas dan dokumen pendukung
dari pihak lain tersebut.
(4) Bagi Penyedia Jasa Keuangan yang berbentuk bank, identitas dan dokumen
pendukung yang diminta dari pengguna jasa keuangan harus sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
(5) Penyedia Jasa Keuangan wajib menyimpan catatan dan dokumen mengenai
identitas pengguna jasa keuangan sampai dengan 5 (lima) tahun sejak
berakhirnya hubungan usaha dengan pengguna jasa keuangan tersebut.
BAB V
PUSAT PELAPORAN DAN ANALISIS TRANSAKSI KEUANGAN
Pasal 18
(1) Dalam rangka mencegah dan memberantas tindak pidana pencucian uang,
dengan Undang-undang ini dibentuk PPATK.
(2) PPATK sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah lembaga yang
independen dalam melaksanakan tugas dan kewenangannya.
(3) PPATK bertanggung jawab kepada Presiden.
Pasal 19
(1) PPATK berkedudukan di Ibukota Negara Republik Indonesia.
(2) Dalam hal diperlukan dapat dibuka perwakilan PPATK di daerah.
Pasal 20
(1) PPATK dipimpin oleh seorang kepala dan dibantu oleh paling banyak 4
(empat) orang wakil kepala.
(2) Kepala dan wakil kepala sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diangkat dan
diberhentikan oleh Presiden atas usul Menteri Keuangan.
(3) Masa jabatan kepala dan wakil kepala sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
adalah 4 (empat) tahun dan dapat diangkat kembali hanya untuk 1 (satu) kali
masa jabatan berikutnya.
(4) Ketentuan mengenai susunan organisasi dan tata kerja PPATK diatur dengan
Keputusan Presiden.
Pasal 21
Untuk dapat diangkat sebagai kepala atau wakil kepala PPATK, calon yang
bersangkutan harus memenuhi syarat sebagai berikut:
a. Warga Negara Indonesia;
b. berusia sekurang-kurangnya 35 (tiga puluh lima) dan setinggi-tingginya 60
(enam puluh) tahun pada saat pengangkatan;
c. sehat jasmani dan rohani;
d. takwa, jujur, adil, dan memiliki integritas pribadi yang baik;
e. memiliki salah satu keahlian dan pengalaman di bidang perbankan, lembaga
pembiayaan, perusahaan efek, pengelola reksa dana, hukum, atau
akuntansi;
f. tidak merangkap jabatan atau pekerjaan lain; dan
g. tidak pernah dijatuhi pidana penjara.
Pasal 22
(1) Kepala dan wakil kepala PPATK sebelum memangku jabatannya wajib
mengucapkan sumpah atau janji menurut agama dan kepercayaannya di hadapan
Ketua Mahkamah Agung.
(2) Sumpah atau janji sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berbunyi sebagai
berikut:
"Saya bersumpah/berjanji, bahwa saya untuk menjadi kepala/wakil kepala PPATK
langsung atau tidak langsung dengan nama dan dalih apapun tidak memberikan
atau menjanjikan untuk memberikan sesuatu kepada siapapun".
"Saya bersumpah/berjanji bahwa saya dalam melakukan atau tidak melakukan
sesuatu dalam jabatan ini, tidak akan menerima langsung atau tidak langsung dari
siapapun juga sesuatu janji atau pemberian dalam bentuk apapun".
"Saya bersumpah/berjanji bahwa saya akan merahasiakan kepada siapapun halhal
yang menurut peraturan perundang-undangan wajib dirahasiakan".
"Saya bersumpah/berjanji bahwa saya akan melaksanakan tugas dan
kewenangan selaku kepala/wakil kepala dengan sebaik-baiknya dan dengan
penuh rasa tanggung jawab".
"Saya bersumpah/berjanji bahwa saya akan setia terhadap negara, konstitusi, dan
peraturan perundang-undangan yang berlaku".
Pasal 23
Jabatan kepala atau wakil kepala PPATK berakhir, karena yang bersangkutan:
a. diberhentikan;
b. meninggal dunia;
c. mengundurkan diri; atau
d. berakhir masa jabatannya.
Pasal 24
(1) Kepala dan wakil kepala PPATK diberhentikan karena:
a. bertempat tinggal di luar wilayah Negara Republik Indonesia;
b. kehilangan kewarganegaraannya sebagai warga Negara Republik
Indonesia;
c. menderita sakit terus menerus yang penyembuhannya memerlukan waktu
lebih dari 3 (tiga) bulan yang tidak memungkinkan melaksanakan tugasnya;
d. menjadi terdakwa dalam perkara tindak pidana yang diancam dengan
pidana penjara yang lamanya 1 (satu) tahun atau lebih;
e. dijatuhi pidana penjara;
f. merangkap jabatan atau pekerjaan lain;
g. dinyatakan pailit oleh pengadilan; atau
h. melanggar sumpah/janji jabatan.
(2) Menteri Keuangan wajib mengajukan usul kepada Presiden agar kepala atau
wakil kepala PPATK diberhentikan berdasarkan ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1).
Pasal 25
(1) Setiap pihak tidak boleh melakukan segala bentuk campur tangan terhadap
pelaksanaan tugas dan kewenangan PPATK.
(2) Kepala dan wakil kepala PPATK wajib menolak setiap campur tangan dari
pihak manapun dalam pelaksanaan tugas dan kewenangannya.
(3) PPATK dalam melakukan pencegahan dan pemberantasan tindak pidana
pencucian uang, dapat melakukan kerja sama dengan pihak yang terkait, baik
nasional maupun internasional.
Pasal 26
Dalam melaksanakan fungsinya PPATK mempunyai tugas sebagai berikut :
a. mengumpulkan, menyimpan, menganalisis, mengevaluasi informasi yang
diperoleh oleh PPATK sesuai dengan Undang-undang ini;
b. memantau catatan dalam buku daftar pengecualian yang dibuat oleh
Penyedia Jasa Keuangan;
c. membuat pedoman mengenai tata cara pelaporan Transaksi Keuangan
Mencurigakan;
d. memberikan nasihat dan bantuan kepada instansi yang berwenang tentang
informasi yang diperoleh oleh PPATK sesuai dengan ketentuan dalam
Undang-undang ini;
e. mengeluarkan pedoman dan publikasi kepada Penyedia Jasa Keuangan
tentang kewajibannya yang ditentukan dalam Undang-undang ini atau
dengan peraturan perundang-undangan lain, dan membantu dalam
mendeteksi perilaku nasabah yang mencurigakan;
f. memberikan rekomendasi kepada Pemerintah mengenai upaya-upaya
pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang;
g. melaporkan hasil analisis transaksi keuangan yang berindikasi tindak pidana
pencucian uang kepada Kepolisian dan Kejaksaan;
h. membuat dan memberikan laporan mengenai hasil analisis transaksi
keuangan dan kegiatan lainnya secara berkala 6 (enam) bulan sekali
kepada Presiden, Dewan Perwakilan Rakyat, dan lembaga yang berwenang
melakukan pengawasan terhadap Penyedia Jasa Keuangan.
Pasal 27
(1) Dalam melaksanakan tugasnya, PPATK mempunyai wewenang:
a. meminta dan menerima laporan dari Penyedia Jasa Keuangan;
b. meminta informasi mengenai perkembangan penyidikan atau penuntutan
terhadap tindak pidana pencucian uang yang telah dilaporkan kepada
penyidik atau penuntut umum;
c. melakukan audit terhadap Penyedia Jasa Keuangan mengenai kepatuhan
kewajiban sesuai dengan ketentuan dalam Undang-undang ini dan terhadap
pedoman pelaporan mengenai transaksi keuangan;
d. memberikan pengecualian kewajiban pelaporan mengenai transaksi
keuangan yang dilakukan secara tunai sebagaimana dimaksud dalam Pasal
13 ayat (1) huruf b.
(2) Dalam melakukan audit sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf c,
PPATK terlebih dahulu melakukan koordinasi dengan lembaga yang melakukan
pengawasan terhadap Penyedia Jasa Keuangan.
(3) Dalam melaksanakan kewenangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1),
terhadap PPATK tidak berlaku ketentuan Undang-undang lain yang berkaitan
dengan ketentuan tentang rahasia bank dan kerahasiaan transaksi keuangan
lainnya.
(4) Ketentuan mengenai tata cara pelaksanaan kewenangan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut dengan Keputusan
Presiden.
Pasal 28
(1) Kepala PPATK mewakili PPATK di dalam dan di luar pengadilan.
(2) Kepala PPATK dapat menyerahkan kewenangan mewakili sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) kepada salah satu wakil kepala PPATK atau pihak
lainnya yang khusus ditunjuk untuk itu.
Pasal 29
(1) Setiap tahun PPATK wajib menyusun Rencana Kerja dan Anggaran
Tahunan.
(2) Rencana Kerja dan Anggaran Tahunan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
diajukan melalui Sekretariat Negara.
BAB VI
PENYIDIKAN, PENUNTUTAN, DAN PEMERIKSAAN
DI SIDANG PENGADILAN
Pasal 30
Penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap tindak
pidana sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang ini, dilakukan berdasarkan
ketentuan dalam Hukum Acara Pidana, kecuali ditentukan lain dalam Undangundang
ini.
Pasal 31
Dalam hal ditemukan adanya petunjuk atas dugaan telah ditemukan transaksi
mencurigakan, dalam waktu paling lama 3 (tiga) hari kerja sejak ditemukan
petunjuk tersebut, PPATK wajib menyerahkan hasil analisis kepada penyidik untuk
ditindaklanjuti.
Pasal 32
(1) Penyidik, penuntut umum, atau hakim berwenang memerintahkan
kepada Penyedia Jasa Keuangan untuk melakukan pemblokiran terhadap
Harta Kekayaan setiap orang yang telah dilaporkan oleh PPATK kepada
penyidik, tersangka, atau terdakwa yang diketahui atau patut diduga
merupakan hasil tindak pidana.
(2) Perintah penyidik, penuntut umum, atau hakim sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) harus dilakukan secara tertulis dengan menyebutkan secara jelas
mengenai:
a. nama dan jabatan penyidik, penuntut umum, atau hakim;
b. identitas setiap orang yang telah dilaporkan oleh PPATK
kepada penyidik, tersangka, atau terdakwa;
c. alasan pemblokiran;
d. tindak pidana yang disangkakan atau didakwakan; dan
e. tempat Harta Kekayaan berada.
(3) Penyedia Jasa Keuangan setelah menerima perintah penyidik, penuntut
umum, atau hakim sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) wajib melaksanakan
pemblokiran sesaat setelah surat perintah pemblokiran diterima.
(4) Penyedia Jasa Keuangan wajib menyerahkan berita acara pelaksanaan
pemblokiran kepada penyidik, penuntut umum, atau hakim paling lambat 1 (satu)
hari kerja terhitung sejak tanggal pelaksanaan pemblokiran.
(5) Harta Kekayaan yang diblokir harus tetap berada pada Penyedia Jasa
Keuangan yang bersangkutan.
(6) Penyedia Jasa Keuangan yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam ayat (3) dan ayat (4) dikenai sanksi administratif sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 33
(1) Untuk kepentingan pemeriksaan dalam perkara tindak pidana pencucian uang,
maka penyidik, penuntut umum, atau hakim berwenang untuk meminta
keterangan dari Penyedia Jasa Keuangan mengenai Harta Kekayaan setiap orang
yang telah dilaporkan oleh PPATK, tersangka, atau terdakwa.
(2) Dalam meminta keterangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), terhadap
penyidik, penuntut umum, atau hakim tidak berlaku ketentuan Undang-undang
yang mengatur tentang rahasia bank dan kerahasiaan transaksi keuangan
lainnya.
(3) Permintaan keterangan harus diajukan secara tertulis dengan menyebutkan
secara jelas mengenai:
a. nama dan jabatan penyidik, penuntut umum, atau hakim;
b. identitas setiap orang yang telah dilaporkan oleh PPATK,
tersangka, atau terdakwa;
c. tindak pidana yang disangkakan atau didakwakan; dan
d. tempat Harta Kekayaan berada.
(4) Surat permintaan untuk memperoleh keterangan sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) dan ayat (2) harus ditandatangani oleh:
a. Kepala Kepolisian Daerah dalam hal permintaan diajukan
oleh penyidik;
b. Kepala Kejaksaan Tinggi dalam hal permintaan diajukan
oleh penuntut umum;
c. Hakim Ketua Majelis yang memeriksa perkara yang
bersangkutan.
Pasal 34
Dalam hal diperoleh bukti yang cukup sebagai hasil pemeriksaan di sidang
pengadilan terhadap terdakwa, hakim memerintahkan penyitaan terhadap Harta
Kekayaan yang diketahui atau patut diduga hasil tindak pidana yang belum disita
oleh penyidik atau penuntut umum.
Pasal 35
Untuk kepentingan pemeriksaan di sidang pengadilan, terdakwa wajib
membuktikan bahwa Harta Kekayaannya bukan merupakan hasil tindak pidana.
Pasal 36
(1) Dalam hal terdakwa telah dipanggil 3 (tiga) kali secara sah sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku tidak hadir, Majelis Hakim
dengan putusan sela dapat meneruskan pemeriksaan dengan tanpa kehadiran
terdakwa.
(2) Apabila dalam sidang berikutnya sebelum perkara diputus terdakwa hadir,
maka terdakwa wajib diperiksa, dan segala keterangan saksi dan surat yang
dibacakan dalam sidang sebelumnya mempunyai kekuatan pembuktian yang
sama dengan apabila terdakwa telah hadir sejak semula.
(3) Putusan yang dijatuhkan tanpa kehadiran terdakwa diumumkan oleh penuntut
umum dalam papan pengumuman pengadilan yang memutus dan sekurangkurangnya
dimuat dalam 2 (dua) surat kabar yang memiliki jangkauan peredaran
secara nasional sekurang-kurangnya dalam jangka waktu 3 (tiga) hari atau 3 (tiga)
kali penerbitan secara terus-menerus.
Pasal 37
Dalam hal terdakwa meninggal dunia sebelum putusan hakim dijatuhkan dan
terdapat bukti-bukti yang meyakinkan bahwa yang bersangkutan telah melakukan
tindak pidana pencucian uang, maka hakim dapat mengeluarkan penetapan
bahwa Harta Kekayaan terdakwa yang telah disita, dirampas untuk negara.
Pasal 38
Alat bukti pemeriksaan tindak pidana pencucian uang berupa:
a. alat bukti sebagaimana dimaksud dalam Hukum Acara
Pidana;
b. alat bukti lain berupa informasi yang diucapkan, dikirimkan,
diterima, atau disimpan secara elektronik dengan alat optik
atau yang serupa dengan itu; dan
c. dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 7.
BAB VII
PERLINDUNGAN BAGI PELAPOR DAN SAKSI
Pasal 39
(1) PPATK, penyidik, penuntut umum, atau hakim wajib merahasiakan identitas
pelapor.
(2) Pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
memberikan hak kepada pelapor atau ahli warisnya untuk menuntut ganti kerugian
melalui pengadilan.
Pasal 40
(1) Setiap orang yang melaporkan terjadinya dugaan tindak pidana pencucian
uang, wajib diberi perlindungan khusus oleh negara dari kemungkinan ancaman
yang membahayakan diri, jiwa, dan/atau hartanya, termasuk keluarganya.
(2) Ketentuan mengenai tata cara pemberian perlindungan khusus sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 41
(1) Di sidang pengadilan, saksi, penuntut umum, hakim, dan orang lain yang
bersangkutan dengan tindak pidana pencucian uang yang sedang dalam
pemeriksaan dilarang menyebut nama atau alamat pelapor, atau hal-hal lain yang
memungkinkan dapat terungkapnya identitas pelapor.
(2) Dalam setiap persidangan sebelum sidang pemeriksaan dimulai, hakim wajib
mengingatkan saksi, penuntut umum, dan orang lain yang terkait dengan
pemeriksaan perkara tersebut, mengenai larangan sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1).
Pasal 42
(1) Setiap orang yang memberikan kesaksian dalam pemeriksaan tindak pidana
pencucian uang, wajib diberi perlindungan khusus oleh negara dari kemungkinan
ancaman yang membahayakan diri, jiwa, dan/atau hartanya, termasuk
keluarganya.
(2) Ketentuan mengenai tata cara pemberian perlindungan khusus sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 43
Pelapor dan/atau saksi tidak dapat dituntut baik secara perdata atau pidana atas
pelaporan dan/atau kesaksian yang diberikan oleh yang bersangkutan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 dan Pasal 42.
BAB VIII
KERJA SAMA INTERNASIONAL
Pasal 44
Dalam rangka penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang
pengadilan terhadap orang atau korporasi yang diketahui atau patut diduga telah
melakukan tindak pidana pencucian uang, dapat dilakukan kerja sama regional
dan internasional melalui forum bilateral atau multilateral sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
BAB IX
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 45
(1) Kepala dan wakil kepala PPATK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20
harus sudah ditetapkan paling lambat 1 (satu) tahun setelah Undang-undang ini
diundangkan.
(2) PPATK harus sudah melaksanakan fungsinya paling lambat 6 (enam) bulan
setelah kepala dan wakil kepala PPATK ditetapkan.
(3) Sebelum PPATK melaksanakan fungsinya sebagaimana dimaksud
dalam ayat (2), sebagian tugas dan kewenangan PPATK khusus
menyangkut Penyedia Jasa Keuangan yang berbentuk bank dilaksanakan
oleh Bank Indonesia sesuai dengan Peraturan Bank Indonesia.
(4) Kewajiban pelaporan bagi Penyedia Jasa Keuangan mulai berlaku 18
(delapan belas) bulan setelah Undang-undang ini diundangkan.
BAB X
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 46
Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undangundang
ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Disahkan di Jakarta
pada tanggal 17 April 2002
PRESIDEN REPUBLIK
INDONESIA,
ttd.
MEGAWATI
SOEKARNOPUTRI
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 17 April 2002
SEKRETARIS NEGARA
REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
BAMBANG KESOWO
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2002 NOMOR 30
Salinan sesuai dengan aslinya
SEKRETARIAT KABINET RI
Kepala Biro Peraturan
Perundang-undangan II,
Ttd
Edy Sudibyo

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home